Sabtu, 15 Februari 2014

Potret Ibukota Indonesia

Jakarta, ibukota negara Zamrud Khatulistiwa ini setiap tahunnya menjadi langganan banjir begitu musim penghujan datang. Banjir ini tidak hanya disebabkan oleh tingginya volume air hujan yang turun langsung di Jakarta, ‘tamu’ kiriman dari Bogor turut memperparah banjir yang menutupi daratan di Jakarta.


 


Berbagai macam cara yang telah diupayakan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi debit air yang meluapi ibukota sejauh ini belum berhasil. Sudah saatnya, sebagai seluruh warga Indonesia khususnya warga Jakarta dan Bogor melakukan introspeksi diri. Bahwa suatu program yang dicanangkan oleh pemerintah sesungguhnya hanyalah alat yang hanya akan berhasil bekerja apabila digerakkan oleh warga masyarakat yang mendukung keberhasilan pengimplementasian program itu.

Langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk menghapus (meminimalisasi) banjir mulai dari perbaikan kinerja waduk-waduk yang ada di Jakarta dan Bogor harus disertai kesadaran masyarakatnya untuk melakukan tindakan preventif yaitu berhenti membuang sampah di sungai atau di tempat lain yang tidak seharusnya dan mengurangi hasrat untuk memenuhi gengsi semata dalam mendirikan villa-villa mewah di puncak yang pada akhirnya harus mengikis daerah resapan air sedikit demi sedikit. 



Himbauan ini tidak hanya ditujukan pada masyarakat dan segelintir orang berduit, tetapi juga untuk pemerintah sendiri terkait dengan peraturan perundang-undangan tentang tata ruang dan wilayah DKI Jakarta. Bahwa tidak semua hal di ibukota adalah soal uang, kekuasaan, modernitas, dan egoisme tapi juga soal kebijaksanaan dan kedewasaan yang lahir dari kematangan intelektualitas yang didukung oleh kematangan spiritualitas dan sosial sehingga dapat menghantarkan pada keputusan-keputusan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat.

Dari pihak pemerintah misalnya, dapat kita saksikan bahwa pemerintah terlalu lemah mengenai kebijaksanaan pemberian izin pendirian pusat-pusat perbelanjaan, real estate, dan tempat-tempat bisnis lainnya baik yang berskala kecil terlebih yang berskala besar. Adalah suatu kenaifan memang apabila kita mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan pusat perbelanjaan, hiburan, kesehatan, dan kantor-kantor pemerintahan. Kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah suatu keniscayaan sebagai konsekuensi dari perkembangan peradaban dan teknologi yang menyebabkan semakin kompleksnya kebutuhan manusia. Namun, pemerintah mungkin telah lupa, bahwa alam semesta ini ada dan bertahan karena adanya keseimbangan ekosistem baik di darat maupun di laut. Apabila manusia, dalam hal ini pemerintah, sebagai elemen dari ekosistem tersebut tidak mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem itu maka alam akan memperlihatkan balasannya. Ya, itu benar. Sebab telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa kerusakan yang terjadi di bumi adalah akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri yang terlalu serakah mengeksploitasi alam demi kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir pihak di mana pihak lain hanya mendapat sepahnya. Coba renungkan, salah satu real estate di daerah ibukota didirikan dengan mengorbankan lahan gambut yang subur dan menjadi habitat makhluk hidup lainnya. Hal tersebut hanyalah contoh kecil perusakan ekosistem. Pemerintah harus sadar, bahwa semaju apa pun sebuah kota, ia tetaplah bukan surga yang di dalamnya tidak akan pernah ada cacat. Hukum alam yang telah ditetapkankan Allah SWT atasnya adalah suatu garis hidup yang harus diikuti aturan mainnya, yang apabila kita merusaknya pasti akan ada dampak negatif yang kembali pada diri kita sendiri. Sehingga pemerintah harus memiliki kebesaran jiwa untuk membangun daerah yang berada di bawah kuasanya. Jangan menjadi seperti pepatah “gali lubang, tutup lubang”. Mengupayakan langkah pengantisipasian dan penanganan semakin parahnya banjir namun membuka lebar-lebar peluang para kapitalis menggerus daerah resapan air.

Dari pihak para pebisnis atau orang berduit misalnya, hasrat mereka untuk menciptakan kekayaan sebesar-besarnya telah membutakan nurani yang menjadi ‘alarm’ yang akan memberi peringatan pada diri sendiri dan menimbulkan perasaan bersalah apabila akan atau telah bertindak melampaui batas. ‘Kematian rasa’ itu menghapus rasa takut akan dampak-dampak negatif yang dapat timbul dan dialami apabila melakukan suatu pelanggaran terhadap hukum alam karena sebagian besar dari mereka ini memang bak lempar batu sembunyi tangan.. Sebagai ‘orang berduit’ mereka bisa melakukan apa saja dengan uangnya sebab, tidak dapat kita pungkiri, moral orang-orang di atas memang belum bisa diuji kemantapannya. Di zaman serba materialistis ini, hanya orang-orang yang kuat imannya yang tidak menuhankan uang dan menjunjung tinggi nilai-nilai agamanya. Ya, sebab nilai agama adalah nilai dari segala nilai yang ada, sehingga apabila telah berjalan baik nilai agamanya maka akan baik pula nilai lain, norma lain, dan segala tindak-tanduknya. Pebisnis harus menyadari bahwa perannya sebagai penyokong perekonomian negara juga harus diimbangi dengan rasa tanggung jawab yang besar terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan tentu saja Allah SWT sehingga segala tindakannya selalu berada dalam koridor-Nya.

Sementara itu, dari segi masyarakat, elemen terbesar dari ekosistem itu sendiri, sebab pemerintah dan pebisnis juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam. Tindakan paling sederhana namun memiliki dampak yang sangat besar yang dapat dilakukan setiap individu adalah tidak membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sembarangan dapat menyumbat (menghambat) jalannya aliran air hujan dari daratan sampai ke laut sementara volume turunnya air besar daripada kemampuan menemukan ‘jalan’ aliran untuk sampai ke laut. Selain itu, ada hal paling penting yang perlu diperhatikan yang menjadikan ibukota sesak dengan manusia yang berarti dengan meningkatnya populasi di suatu daerah mengakibatkan semakin tinggi pula masalah kependudukan, sosial, dan alam. Menurut data yang dimiliki oleh pemerintah DKI Jakarta, setiap tahunnya ibukota kedatangan ratusan bahkan ribuan penduduk baru yang hendak mengadu nasib dengan ‘bekal’ yang kurang memadai, yang biasa dibawa oleh sanak saudara mereka sepulang dari kampung halaman setiap kali habis merayakan lebaran. Yang perlu ditanamkan dalam jiwa penduduk golongan menengah ke bawah ini adalah suatu pemahaman bahwa hak untuk mendapatkan kehidupan lebih baik memang milik semua orang tanpa pengecualian, tetapi hal itu hanya akan terjadi apabila diimbangi dengan keahlian yang menjadi nilai tambah bagi pribadi yang bersangkutan, yang menjadikan ia pantas untuk ‘dicari uang’. Lagipula, setiap daerah di Indonesia, oleh Allah SWT telah dianugerahi potensi yang sangat besar. Apabila setiap warga masyarakat memiliki kebanggaan atas daerahnya masing-masing (tanpa menimbulkan etnosentrisme) maka setiap orang akan memiliki dorongan untuk mengoptimalkan potensi daerah untuk membangun perekonomian yang pada akhirnya nanti akan menciptakan pemerataan pembangunan karena selama ini pembangunan di Indonesia hanya terpusat di kota-kota besar saja.
*Sumber :  http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2014/02/05/potret-ibukota-629658.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar