Jakarta, ibukota negara Zamrud
Khatulistiwa ini setiap tahunnya menjadi langganan banjir begitu musim
penghujan datang. Banjir ini tidak hanya disebabkan oleh tingginya
volume air hujan yang turun langsung di Jakarta, ‘tamu’ kiriman dari
Bogor turut memperparah banjir yang menutupi daratan di Jakarta.
Berbagai macam cara yang telah
diupayakan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk menghilangkan atau
setidaknya meminimalisasi debit air yang meluapi ibukota sejauh ini
belum berhasil. Sudah saatnya, sebagai seluruh warga Indonesia khususnya
warga Jakarta dan Bogor melakukan introspeksi diri. Bahwa suatu program
yang dicanangkan oleh pemerintah sesungguhnya hanyalah alat yang hanya
akan berhasil bekerja apabila digerakkan oleh warga masyarakat yang
mendukung keberhasilan pengimplementasian program itu.
Langkah-langkah yang telah ditempuh
pemerintah untuk menghapus (meminimalisasi) banjir mulai dari perbaikan
kinerja waduk-waduk yang ada di Jakarta dan Bogor harus disertai
kesadaran masyarakatnya untuk melakukan tindakan preventif yaitu
berhenti membuang sampah di sungai atau di tempat lain yang tidak
seharusnya dan mengurangi hasrat untuk memenuhi gengsi semata dalam
mendirikan villa-villa mewah di puncak yang pada akhirnya harus mengikis
daerah resapan air sedikit demi sedikit.
Himbauan ini tidak hanya ditujukan pada
masyarakat dan segelintir orang berduit, tetapi juga untuk pemerintah
sendiri terkait dengan peraturan perundang-undangan tentang tata ruang
dan wilayah DKI Jakarta. Bahwa tidak semua hal di ibukota adalah soal
uang, kekuasaan, modernitas, dan egoisme tapi juga soal kebijaksanaan
dan kedewasaan yang lahir dari kematangan intelektualitas yang didukung
oleh kematangan spiritualitas dan sosial sehingga dapat menghantarkan
pada keputusan-keputusan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat.
Dari pihak pemerintah misalnya, dapat
kita saksikan bahwa pemerintah terlalu lemah mengenai kebijaksanaan
pemberian izin pendirian pusat-pusat perbelanjaan, real estate, dan
tempat-tempat bisnis lainnya baik yang berskala kecil terlebih yang
berskala besar. Adalah suatu kenaifan memang apabila kita mengatakan
bahwa kita tidak membutuhkan pusat perbelanjaan, hiburan, kesehatan, dan
kantor-kantor pemerintahan. Kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah
suatu keniscayaan sebagai konsekuensi dari perkembangan peradaban dan
teknologi yang menyebabkan semakin kompleksnya kebutuhan manusia. Namun,
pemerintah mungkin telah lupa, bahwa alam semesta ini ada dan bertahan
karena adanya keseimbangan ekosistem baik di darat maupun di laut.
Apabila manusia, dalam hal ini pemerintah, sebagai elemen dari ekosistem
tersebut tidak mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem itu maka
alam akan memperlihatkan balasannya. Ya, itu benar. Sebab telah
dijelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa kerusakan yang terjadi di bumi
adalah akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri yang terlalu
serakah mengeksploitasi alam demi kepentingan bisnis yang hanya
menguntungkan segelintir pihak di mana pihak lain hanya mendapat
sepahnya. Coba renungkan, salah satu real estate di daerah ibukota
didirikan dengan mengorbankan lahan gambut yang subur dan menjadi
habitat makhluk hidup lainnya. Hal tersebut hanyalah contoh kecil
perusakan ekosistem. Pemerintah harus sadar, bahwa semaju apa pun sebuah
kota, ia tetaplah bukan surga yang di dalamnya tidak akan pernah ada
cacat. Hukum alam yang telah ditetapkankan Allah SWT atasnya adalah
suatu garis hidup yang harus diikuti aturan mainnya, yang apabila kita
merusaknya pasti akan ada dampak negatif yang kembali pada diri kita
sendiri. Sehingga pemerintah harus memiliki kebesaran jiwa untuk
membangun daerah yang berada di bawah kuasanya. Jangan menjadi seperti
pepatah “gali lubang, tutup lubang”. Mengupayakan langkah
pengantisipasian dan penanganan semakin parahnya banjir namun membuka
lebar-lebar peluang para kapitalis menggerus daerah resapan air.
Dari pihak para pebisnis atau orang
berduit misalnya, hasrat mereka untuk menciptakan kekayaan
sebesar-besarnya telah membutakan nurani yang menjadi ‘alarm’ yang akan
memberi peringatan pada diri sendiri dan menimbulkan perasaan bersalah
apabila akan atau telah bertindak melampaui batas. ‘Kematian rasa’ itu
menghapus rasa takut akan dampak-dampak negatif yang dapat timbul dan
dialami apabila melakukan suatu pelanggaran terhadap hukum alam karena
sebagian besar dari mereka ini memang bak lempar batu sembunyi tangan..
Sebagai ‘orang berduit’ mereka bisa melakukan apa saja dengan uangnya
sebab, tidak dapat kita pungkiri, moral orang-orang di atas memang belum
bisa diuji kemantapannya. Di zaman serba materialistis ini, hanya
orang-orang yang kuat imannya yang tidak menuhankan uang dan menjunjung
tinggi nilai-nilai agamanya. Ya, sebab nilai agama adalah nilai dari
segala nilai yang ada, sehingga apabila telah berjalan baik nilai
agamanya maka akan baik pula nilai lain, norma lain, dan segala
tindak-tanduknya. Pebisnis harus menyadari bahwa perannya sebagai
penyokong perekonomian negara juga harus diimbangi dengan rasa tanggung
jawab yang besar terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan
tentu saja Allah SWT sehingga segala tindakannya selalu berada dalam
koridor-Nya.
Sementara itu, dari segi masyarakat,
elemen terbesar dari ekosistem itu sendiri, sebab pemerintah dan
pebisnis juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, juga
memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam menjaga keseimbangan
ekosistem alam. Tindakan paling sederhana namun memiliki dampak yang
sangat besar yang dapat dilakukan setiap individu adalah tidak membuang
sampah sembarangan. Membuang sampah sembarangan dapat menyumbat
(menghambat) jalannya aliran air hujan dari daratan sampai ke laut
sementara volume turunnya air besar daripada kemampuan menemukan ‘jalan’
aliran untuk sampai ke laut. Selain itu, ada hal paling penting yang
perlu diperhatikan yang menjadikan ibukota sesak dengan manusia yang
berarti dengan meningkatnya populasi di suatu daerah mengakibatkan
semakin tinggi pula masalah kependudukan, sosial, dan alam. Menurut data
yang dimiliki oleh pemerintah DKI Jakarta, setiap tahunnya ibukota
kedatangan ratusan bahkan ribuan penduduk baru yang hendak mengadu nasib
dengan ‘bekal’ yang kurang memadai, yang biasa dibawa oleh sanak
saudara mereka sepulang dari kampung halaman setiap kali habis merayakan
lebaran. Yang perlu ditanamkan dalam jiwa penduduk golongan menengah ke
bawah ini adalah suatu pemahaman bahwa hak untuk mendapatkan kehidupan
lebih baik memang milik semua orang tanpa pengecualian, tetapi hal itu
hanya akan terjadi apabila diimbangi dengan keahlian yang menjadi nilai
tambah bagi pribadi yang bersangkutan, yang menjadikan ia pantas untuk
‘dicari uang’. Lagipula, setiap daerah di Indonesia, oleh Allah SWT
telah dianugerahi potensi yang sangat besar. Apabila setiap warga
masyarakat memiliki kebanggaan atas daerahnya masing-masing (tanpa
menimbulkan etnosentrisme) maka setiap orang akan memiliki dorongan
untuk mengoptimalkan potensi daerah untuk membangun perekonomian yang
pada akhirnya nanti akan menciptakan pemerataan pembangunan karena
selama ini pembangunan di Indonesia hanya terpusat di kota-kota besar
saja.
*Sumber : http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2014/02/05/potret-ibukota-629658.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar